SANDIKALA
Cerpen
Sandikala
Yuspianal Imtihan
Tujuh jam setelah pajar menyingsing. Selalu, panasnya terik matahari terasa menyamai nyala api. Keadaan ini tentu bukan yang pertama kali. Kondisi cuaca ini sudah berlangsung selama tujuh puluh tujuh hari. Akibatnya, suhu cuaca ini telah mengusir kesejukan di kampung Baran Bawi kecuali satu tempat bernama hutan Kalimati. Hutan yang sejuk dan rindang yang jaraknya cuma 99 depa dari kampung ini.
Dahulu, kampong Baran Bawi merupakan kampung padat penduduk. Padat sekali. Tetapi, suatu peristiwa besar pernah terjadi di sini. Sehingga seluruh pohon-pohon yang tumbuh di atas tanah kampong Baran Bawi ini pun di tebang. Kemudian para penduduk kampung yang kaya mendadak dari hasil menjual pohon-pohon kayu jati mas, dan puluhan jenis kayu kelas satu di kampung ini pun berbondong-bondong pergi meninggalkan kampongnya.
Kini, hanya sedikit warga yang memilih bertahan dengan alasan demi menjaga tanah ulayat dan wasiat para leluhur. Saat ini, hanya ada 33 kepala keluarga saja yang rela bertahan karena alasan-alasan yang tidak diketahui. Dan, kisah salah satu keluarga yang dipaksa menjadi janda bernama Inaq Resah inilah yang akan diceritakan. Dimana gubuk tempat tinggalnyalah yang paling dekat dengan pintu hutan Kalimati.
***
Seperti hari-hari sebelumnya. Meskipun jam makan siang sudah lewat, namun pawon Inaq Resah pastilah masih mengepulkan asap. Dan setiap kali matanya kena asap. Ia pasti akan mengingat dan merindukan suaminya kadang sampai menangis sejadi-jadinya.
Jadi, semenjak terpilih menjadi wali yang baru di kampung inj. Yang mana, tugas utama seorang wali adalah, bahwa ia harus bisa menjinakkan Sandikala yang kabarnya selalu bersembunyi di tengah hutan Kalimati. Tetapi nahas, karena suaminya tidak kunjung keluar dari dalam hutan Kalimati selama tiga hari berturut-turut. Maka ia pun dinyatakan mati oleh para penduduk Baran Bawi. Ini juga lantaran tak akan ada seorang pun yang berani masuk meski hanya melewati pintu hutan Kalimati, kecuali ia adalah seorag wali.
Inilah mengapa penduduk kampong Baran Bawi dengan sekonyong-konyong memutuskan bahwa suaminya Inaq Resah telah mati. Mendapati keputusan para penduduk. Inaq Resah pun hanya bisa pasrah dan menerima diri dicap sebagai janda. Meskipun dalam hati, ia tak pernah rela dipanggil menyandang gelar tersebut. Tidak sama sekali. Setiap hari, Inaq Resah masih terus menunggu kepulangan suaminya di depan pintu hutan. Ia berkeyakinan bahwa suatu hari nanti suaminya pasti akan menyingkap tabir misteri di dalam hutan Kalimati ini.
...
“Inaq, apakah makanannya sudah matang?” tanya anaknya yang bernama Genem
“Tunggu ya nak. Sebentar lagi matang kok. Atau kamu tidur saja lagi di samping kakakmu. Nanti setelah matang, Inaq pasti membangunkan kalian.” Katanya seraya mengambil kayu di atas para-para, lalu mejuluk kayu-kayu itu ke jangkih.
Tetapi karena apinya padam. Ia kemudian menyambar semprong yang selalu berada tak jauh dari posisinya memasak, karena alat ini sangat efektif untuk meniup jangkih agar api lekas menyala. Dengan agak pelan, ia meniup salah satu lubang semprong tersebut sambil matanya terus memastikan arah tiupannya agar tepat mengarah ke bara api. Tetapi, lagi-lagi kepulan asap kembali menusuk-nusuk matanya sehingga terasa perih dan berair. Dan, tentu saja tiap kali air matanya mengalir, ia pasti akan teringat akan suaminya.
Ia benar-benar mengenang peran suaminya, sebelum keberadaannya yang sekarang entah dimana. Dulu, suaminyalah yang selalu membantunya menyalakan api untuk memasak. Tanpa menggunakan korek api sekalipun suaminya memang sangat jago. Hanya butuh waktu singkat, api pasti sudah menya. Sayang sekali, teknik menyalakan api suaminya itu belum tuntas dikuasai.
“Inaq. Aholah, aku sudah sangat lapar ini. Masak sih sampai sekarang lauknya belumnya juga matang? Sampai tiga jam lebih lo ini kami menunggu Inaq. Apa jek yang side masak itu Inaq?” Genah kembali merengek-rengek sembari memegangi perutnya yang mulai meronta-ronta.
Sedari pagi mereka memang belum menelan apapun untuk memenuhi nutrisi tubuh mereka. Perasaan Inaq Resah pun remuk redam. Ia begitu kasihan mendengar rengekan anaknya itu. Tapi mau bagaimana lagi, kondisi ekonomi mereka sedang hancur semenjak kehilangan sosok suami yang menjadi tulang punggung keluarga. Kini tak ada lagi peran suaminya yang pulang kerumah setelah seharian bekerja, lalu sekembalinya dari tempat kerja, pasti suaminya akan membawakan segepok uang dan berliter-liter beras untuk dimakan. Tak ada. Tak ada lagi yang seperti itu, sehingga untuk saat-saat ini mereka memang harus membiasakan diri menelan apapun yang bisa dimakan hanya demi menyambung hidup. Hari ini saja, Inaq Resah memilih mengukus umbi Ganyol dan Arus.
“Oh iya nak, coba kamu minum saja dulu. Minumlah dari air gentong ini. Air gentong itu sangat baik untuk tubuh kita. Air ini juga agar rasa laparmu sedikit berkurang. Kata Baloqmu air gentong adalah obat yang sangat mujarab.” Inaq Resah mencoba menjelaskan manfaat air gentong sambil menyodorkannya pada Genah.
“Bagaimana rasanya, enakkan?” Tanya Inaqnya.
“Ah iya buk, ini enak sekali.” Jawab Genah
Sekarang perutnya Genah sudah dapat diajak sedikit berdamai. Rengekannya juga tak lagi mendesing di gubuk kecil mereka. Genah lalu menghampiri kakaknya. Rumini. Gadis yang umurnya dua tahun lebih tua darinya. Di umurnya yang menginjak 14 tahun, Ruminilah yang selalu sigap membantu Inaqnya. Dia memang berbeda dari Genah sejak kecil. Rumini lebih tahan dan tidak secerewet Genah untuk urusan makan. Pernah ia tidak makan berhari-hari, tapi ia selalu berusaha menampakkan diri biasa saja. Sebab dialah yang lebih dulu meyakini, bahwa meminum air gentong adalah obat. Jadi saat dia lapar, dia akan langsung mengisi perutnya dengan air gentong.
“Kak bangun ayok, aku tahu kakak tidak tidur dari tadi. Kakak hanya pura-pura tidur saja kan ya." Tanya Genah.
Mendengar adiknya bertanya begitu, Rumini pun segera bangkit dan tersenyum, meski wajah dan bibirnya tampak pucat, bak riasan mayat dalam sebuah pementasan drama realis. Dia pun berusaha bangkit sambil meringis, tetapi dengan sigap Genah membantunya. Gemah pun menyandarkan Rumini pada tiang bambu. Menyaksikan kedua anaknya yang bertingkah seperti itu, wajah Inaq Resah pun kembali basah oleh deraian air mata. Ia lalu menghampiri mereka dan memeluk mereka dengan sangat erat.
“Maafkan Inaq ya anak-anakku. Inaq belum bisa membahagiakan kalian. Inaq hanya tidak tahu bagaimana caranya kita keluar dari kondisi ini, tapi Inaq janji pada kalian berdua, bahwa Inaq akan melakukan apapun. Kita harus tetap berjuang bersama, apapun yang terjadi.” Kata Inaq Resah menumpahkan isi hatinya karena tak bisa membendung perasaannya.
“Iya Inaq, sudahlah, Aku dan Genah masih kuat kok." Kata Rumini sambil menghapus air mata Inaqnya. Sementara Genah hanya bisa menangis tapi tak berkata-kata.
“Oh iya, Inaq. Saya mau ajak Genah main di luar, boleh ya? Ayok dek kita main sebok pete.” Ajak Rumini. Inaq dan Genah pun mengangguk. Rumini kegirangan lalu menggandeng tangan adiknya itu ke luar. Dia hendak mengajak adiknya ke lapangan dekat pintu hutan Kalimati untuk bertemu dengan teman-teman dan seseorang yang biasanya mengabulkan keinginan mereka di sana.
“Eh iya nak, ini Ganyol dan Arusnya sudah matang, mending kalian makan dulu gih sebelum main-main keluar.” Pinta Inaq Resah. Mereka pun mengiayakan permintaan Inaqnya.
***
Di lokasi permainan, Genah langsung mengajak teman-temannya untuk memulaikan permainan. Permainan petak umpet. Dalam permainan itu yang kalah hompimpa akan dihukum. Dia akan bertugas mencari lawan yang bersembunyi. Tapi karena hompimpa yang mereka lakukan selalu menunjukkan posisi tangan yang sama, baik yang terbuka maupun posisi telapak tangan yang terbalik yang sama, meskipun hompimpa sudah mereka coba sampai beratus-ratus kali. Akhirnya Genah punya ide. Dia akan melambatkan telapak tangannya saat dijatuhkan sehingga selalu ada yang sama dengan posisi tangannya. Dan pada saat dia sudah mendapatkan satu lawan terakhir untuk melakukan suit, ia pun langsung memilih mengalah hingga menerima hukuman sebagai yang akan mencari keberadaan lawan yang bersembunyi.
Genah pun menghadapkan wajahnya pada sebongkah batu sambil menutup matanya, ia lalu diminta menghitung dari satu hingga sepuluh.
“Sudahkah?” Tanya Genah.
Tapi tak ada jawaban. Hal ini juga menandakan bahwa lawannya sudah bersembunyi di tempat yang mereka pastikan sulit untuk ditemukan. Genah pun mulai berjalan dan mencari lawannya ke beberapa tempat yang menurutnya menjadi tempat persembunyian lawan. Benar saja, beberapa tempat yang di datangi olehnya memang membuahkan hasil, Genah menemukan teman-temannya yang lain. Kecuali Rumini.
Sudah mau Maghrib. Genah dan k
teman-temannya juga sudah melakukan pencarian di beberapa tempat yang biasa di jadikan temlat bersembunyi. Namun kakaknya belum juga ditemukan, mereka memanggil-manggil nama Rumini berulang-ulang kali. Satu-satunya tempat yang mereka curigai adalah hutan Kalimati. Genah pun meminta bantuan teman-temannya untuk maemasuki hutan itu, tapi tak ada satupun diantara mereka yang berani mengikutinya. Teman-temannya justeru memilih pulang untuk memberitahu penduduk yang lain. Hanya Genah yang memberanikan diri menerobos masuk melewati pintu hutan Kalimati.
...
Senja benar-benar telah pergi meninggalkan Bumi dengan berjuta-juta tanda tanya bagi Genah yang sedang diselimuti kecemasan dan berjubah angin malam. Dalam keheningan, sesekali Genah berteriak memanggil-manggil nama kakaknya. Bukannya Rumini yang menyahut, tapi burung-burung hantu dan beberapa hewan nocturnal lainnya. Genah sama sekali tidak merasakan takut, ia memilih duduk di bawah pohon jati sambil terus menekuk lututnya. Semakin malam, tembang syahdu hutan Kalimati semakin menggila. Desir angin malam yang mulai dingin kini mulai menusuk-nusuk tubuhnya dan Genah benar-benar tenggelam ke dalam kegelapan hutan Kalimati.
Tiga jam sejak teman-temannya meninggalkannya. Inaq Resah dan warga kampung Baran Bawi yang ditunggunya itu pun belum juga datang. Akhirnya dengan kebulatan tekad serta dengan keyakinan bahwa kakaknya ada di hutan inilah yang membuatnya memberanikan diri untuk mulai bergerak lagi dengan sisa tenaga yang ada. Genah terus saja berjalan pelan diantara bayang-bayang malam sambil diiringi dengan suara-suara hewan malam yang menguar ke udara. Hatinya begitu tenang, tak sedikitpun ia merasa takut menghadapi wajah malam. Lagipula ia merasa tak sendiri. Ia juga tak merasakan kesepian. Ia terus berpikir bahwa di dalam hutan Kalimati ini, ayahnya masih hidup dan akan menjaganya.
Baginya, sandikala hanyalah dongeng sesat. Jadi ia tak mau menghiraukan cerita soal adanya sandikala di hutan ini. Semakin dalam ia melangkah semakin kuat terdengar bahwa ada suara yang sedang memanggil-manggil namanya. Namun suara itu bukan berasal dari tengah hutan, melainkan berasal dari lapangan tempatnya bermain tadi. Mendengar suara panggilan tersebut, ia pun segera menuju sumber suara itu. Tapi di sini lah keanehan itu mulai terjadi. Saat Genah berusaha menuju sumber suara itu, maka ia pasti akan kembali ke lokasi dimana ia menunggu di awal tadi, padahal jarak dari lokasinya menunggu dari pintu hutan itu hanya berjarak tiga belas depa saja.
Keanehan ini terus terjadi berulang-uleng kali. Padahal ia yakin betul bahwa jalan itu adalah jalan untuk pulang. Ia lalu memilih memejamkan matanya. Berharap ayahnya segera datang. Dia memanggil-manggil nama ayahnya. Tak lama berselang setelah ia memanggil nama ayahnya. Ia pun mendengar suara lain yang memanggil manggil namanya dari balik semak belukar di depannya, Ia mengenali betul suara itu. Genah hilang di balik semak-semak.
...
Sementara di lapangan, Inaq Resah dan puluhan warga kampung lainnya masih memanggil-manggil nama Rumini dan Genah. Lagi, di sinilah keanehan kedua ini terjadi. Kini Rumini yang di cari-cari Genah malah telah berada diantara mereka. Inaq Resah dan puluhan warga kampung Baran Bawi yang ikut dalam pencarian ini pun dibuat kaget seketika.
“Rumini, dimana adikmu?” Tanya Inaqnya sambil terus menahan isak tangisnya.
“Aku tidak tahu Inaq. Tadi saat kami main petak umpet itu. Perutku sakit sekali. Aku tak kuat lagi harus menahan lapar. Akhirnya aku menemukan ini saat bersembunyi tadi.” Kata Rumini sembari memperlihatkan dua buah benda kecil dan berwarna kuning dari dibalik kedua tangannya yang mungil.
“Maafkan aku Inaq. Aku tadi keasyikan memetik dan memungut buah dan benda-benda ini.” Kata Rumini.
Entah karena apa, begitu para warga melihat benda-benda yang ditemukan Rumini itu. Mereka justeru kini lagsung bergegas memasuki hutan Kalimati dengan meminta Rumini jadi penunjuk jalan. Kini tak ada lagi warga yang menunjukkan rasa takut. Rata-rata mereka bergegas dengan wajah riang dan penuh harapan. Hanya Inaq Resah yang dibiarkan menunggu di luar pintu hutan.
Sekembalinya mereka dari dalam hutan tanpa membawa Genah. Inaq Resah pun langsung menjejali mereka dengan pertayaan bertubi-tubi.
“Dimana Genah? Mengapa kalian tak membawanya? Apa yang terjadi dengannya? Apa yang terjadi dengan adikmu Rumini?.” Tanya Inaq Resah. Namun tak satupun diantara mereka yang bersedia menjawab.
“Mengapa kalian diam saja? Di mana anakku?” Tanyanya lagi. Tapi tetap saja, mereka semua hanya bisa diam. Merela saling pandang dan hanya fokus pada sekantung benda-benda kecil berwarna kuning yang mereka dapatkan dari dalam hutan.
“Ku mohon, jawablah pertanyaanku ini. Apakah kalian benar-benar tidak mau tahu sekarang?” Tanya Inaq Resah sambil terus menangis sejadi-jadinya.
“Kami tidak menemukan anakmu Resah. Semua tempat di hutan Kalimati ini sudah kami jelajahi. Namun kami tetap tak menemukan tanda-tanda keberadaan anakmu. Mungkin anakmu sudah.”
Belum selesai orang itu berucap, tiba-tiba tubuh Inaq Resah roboh seketika. Ia tak kuasa mendengar jawaban orang tersebut. Sembari memeluk tubuh kurus Rumini, ia pun melantunkan sebuah tembang belasungkawa.
“Sandikala. Oh Sandikala. Oh sandikala. Tatkala, gumi sudah bertepuk. Kemana kami hendak meringkuk. Oh Sandikala. Engkau merampas lagi belahan jiwa, kembang hati kembang mata. Juru kunci segala rupa.” setelah ia melantunkan tembang itu, ia mulai tak sadarkan diri.
Melihat Inaq Resah yang pingsan begitu, warga pun mulai panik, mereka lalu bergegas menggotong Inaq Resah dan Rumini meninggalkan tempat itu menggunakan tandu, sambil membacakan tembang-tembang pujian, pada hutan, pada wali mereka yang memberikan harapan baru.
Sesampainya mereka mengantarkan Inaq Resah dan Rumini ke gubuknya itu. Inaq Resah pun akhirnya sadarkan diri. Namun alangkah terkejutnya Inaq Resah saat ia membuka matanya. Kini pawon nya itu penuh dengan buah-buahan kecil, dan benda-benda kecil kuning yang sangat banyak. Ada berkarung-karung banyaknya. Sementara di atas tikar pandan di ruang tengah itu, ia melihat suami dan anaknya dalam posisi duduk, menunggu responnya sambil terus tersenyum padanya.
“Kini kita tidak akan pernah mengenal kepalaran lagi wahai kalian para wargaku. Ingat sesuai dengan apa yang menjadi permintaanku kepada kalian saat kita di dalam hutan tadi. Kalian semua harus tetap setia merahasiakan keajaiban ini kepada dunia luar.” Kata suami Inaq Resah kepada semua warga yang masih tak mau beranjak dari gubuknya.
"Hutan Kalimati ini harus tetap menyisakan misteri untuk orang lain, walau pun bagi kita, hutan Kalimati ini akan tetap menjadi berangkas alam kita. Namun tentu dengan syarat bahwa mulai besok kalian harus merobohkan rumah-rumah batu di kampung ini, dan mengubah tampilannya seperti rumah bedek milik saya ini. Lagipula, rumah dan seluruh isi dunia yang kalian impikan selama ini, silakkan kalian bisa bangun di luar kampung ini saja. Terakhir saya minta agar kalian mempertahankan bahwa cerita sandikala itu benar-benar ada dan sangat mengerikan." Kata suami Inaq Resah sembali meminta mereka pulang ke rumah masing-masing.
TAMAT
Catatan kaki :
Sandikala :selisih waktu antara maghrib dan isya
Arus :makanan sejenis umbi-umbian yang biasa dibuat sebagai saguatau tapioca
Inaq :Ibu
Bedek :Rumah pagar bamboo
Gih :Iya
Jangkih :Kompor
Para-para :tempat untuk menaruh kayu bakar
Juluk :di dorong
Semprong :alat peniup api terbuat dari bambu
Komentar