MANUSIA BERBUDAYA DAN TAK BERBUDAYA
Oleh
Yuspianal Imtihan
PENDAHULUAN
Kebudayaan membutuhkan penjelasan yang begitu kompleks
karena hal ini menyangkut pri kehidupan manusia yang tergabung dalam sebuah
komunitas masyarakat secara luas, diantaranya adalah mengenai interaksi social
dan ideologi sebgai pembentuk mindset
atau cara berpikir suatu masyarakat secara bersama-sama sebagai sebuah kesatuan
ataupun sebaliknya. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehldupan bermasyarakat,
yang dijadlkan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat. 2003:72).
Sejak masa awalnya sebagai bidang pengetahuan yang sistematis, antropologi
telah memasalahkan proses mental. Misalnya,’kesatuan psikis umat manusia’ yang
merupakan salah satu aksioma tertua dan fundamental. Dalam disiplin ini jelas
adalah anggapan tentang proses mental yang berlaku bagi segala manusia (panhuman). Demikianlah maka dalam
memegang teguh anggapan tersebut antropologi meninggalkan penjelasan rasial,
biologis, dan genetis mengenai perubahan budaya. Antropologi beralih ke
penjelasan tentang perbedaan itu sebagai fenomena sosio-kultural. Setelah
menerima premis bahwa proses mental pada hakikatnya sama untuk seluruh umat
manusia, banyak hal di antara para antropolog yang awal-awal melanjutkannya
dengan berspekulasi tentang keadaan dan sifat-hakikat proses mental itu.
Antropologi merupakan satu-satunya ilmu pengetahuan sosial
yang berusaha mempelajari/membahas kedua sisi sifat-hakikat manusia sekaligus,
yakni sisi biologis (antropologi ragawi) dan sisi kultural (antropologi budaya).
Antropologi mengambil budaya manusia dari segala waktu dan tempat, menjelajahi
masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik,
teknologi, ekologi, agama, bahasa, kesenian dan mitologi. Masalah utama dalam
antropologi adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan budaya
maupun perubahannya dari masa ke masa. Oleh karena budaya itu bersifat dinamis
maksudnya budaya bersifat
dinamis adalah oleh sebab budaya menggambarkan rata-rata kecenderungan
perilaku. Budaya tidak bisa menggambarkan seluruh perilaku individu dalam
masyarakat yang mempraktekkan budaya tertentu. Selalu akan ada perbedaan
perilaku antar individu kendatipun kecil. Perbedaan ini menciptakan ketegangan
dinamis (dynamic tension) berupa “gap budaya” antara satu individu dengan
individu lain atau antara junior dengan seniornya. Atas dasar ini, budaya
kemudian secara perlahan tetapi pasti mengalami perubahan. Budaya juga merupakan seperangkat sistem
aturan. Budaya tidak mengacu pada satu perilaku, aturan, sikap, ataupun nilai
saja. Budaya mengacu pada keseluruhan dari paduan aspek-aspek tersebut. Sebagai
sebuah sistem, budaya mengkaitkan perilaku, aturan, sikap, dan nilai secara
harmonis satu sama lain penjelasan ini dapat di contohkan misalnya budaya
berpakaian orang-orang kaya akan berbeda dengan orang-orang miskin atau misalnya tend budaya yang masuk
sebagai sebuah akulturasi memaksa para pemuda-pemudi Indonesia meniru berpakaian
ala artis korea atau semacamnya.
Maka untuk dapat menjelaskan hal tersebut kita harus
mempelajari mekanisme, struktur, dan sarana-sarana kolektif di luar diri
manusia, yang kemudian disebut sebagai “budaya” (culture). Kultur/budaya
merupakan suatu golongan fenomen yang diberi muatan makna tertentu oleh
antropolog dalam rangka menghadapi soal-soal yang mereka coba untuk
memecahkannya. Mengenai keragaman/perbedaan pengaturan budaya, antropolog
memandang (a) bahwa perbedaan sesuatu yang ada begitu saja sebagai
fenomen untuk dicatat, atau sebagai variasi-variasi dalam suatu tema besar yang
bernama relativisme budaya, pandangan ini memunculkan kepustakaan yang
melukiskan cara hidup sejumlah bangsa besar di dunia. Salah satu komponen
nonmaterial yang mendasari budaya adalah
nilai.
Nilai menyediakan gagasan atau keyakinan tentang suatu perilaku,
tetapi tidak menyatakan secara tegas bagaimana kita harus berperilaku. Norma,
di sisi lain, punya fungsi seputar bagaimana satu individu harus berperilaku.
Norma adalah aturan-aturan mapan tentang standar perilaku atau standar
bertindak. Norma terdiri atas Prescriptive
Norm dan Proscriptive Norm. Prescriptive
Norm mengatur perilaku apa saja yang dianggap memang semestinya dan
diterima. Contoh, orang yang berhasil menghasilkan sejumlah uang diharapkan
menghitung pajak dan membayarkannya. Norma-norma yang didasarkan pada kebiasaan
mengharuskan kita segera membantu membukakan pintu bagi orang yang membawa
beban berat. Proscriptive Norm menyatakan apa
perilaku yang tidak semestinya atau tidak diterima. Hukum yang melarang kita
untuk tidak melampaui batas kecepatan mengemudi atau menyatakan tidak pantas
berbicara di telepon genggam tatkala tengah belajar di kelas. Baik norma
preskriptif maupun proskriptif beroperasi di setiap tingkatan masyarakat, baik
dalam tindakan sehari-hari ataupun formulasi undang-undang di tingkat parlemen.
Tingkat pentingnya norma-norma yang ada tidak pula selalu sama dan selebihnya
pembahasan ini akan lebih mengacu kepada pembahasan singkat mengenai manusia
berbudaya dan tidak berbudaya.
PEMBAHASAN
Manusia Berbudaya dan Tak Berbudaya
Budaya merujuk pada kelompok dan unit-unit sosial. Budaya hadir
di setiap tingkatan antarindividu dalam kelompok atau antarkelompok dalam suatu
kelompok besar (misalnya korporasi bisnis). Pendapat ini menyatakan suatu
relativitas budaya, bahwa dalam suatu budaya “besar” sesungguhnya terdapat
budaya-budaya yang lebih “kecil” yang merupakan bagian di dalamnya dan
terkadang mengalami ketegangan dengan budaya yang lebih “besar” tadi. Budaya memastikan kelangsungan hidup suatu
kelompok. Sistem aturan yang membentuk budaya secara esensial memastikan
kelangsungan hidup suatu kelompok. Aturan-aturan ini memungkinkan tiap-tiap
unit dalam kelompok hidup bersama satu sama lain, memungkinkan keteraturan
sosial (social order) timbang situasi kacau atau kebebasan mutlak. Secara umum,
budaya merupakan cara manusia untuk memenjarakan, mengendalikan, dan menghidari
chaos. Budaya juga berpotensi untuk berubah.
Budaya adalah entitas dinamis yang merupakan hasil interaksi
ketat antara perilaku, sikap, nilai, keyakinan, dan norma. Tiap unit dalam
masyarakat (individu) selalu berubah setiap saat. Perubahan dari unit - unit
ini kemudian terjadi dalam skala yang dapat saja stagnan atau semakin besar
lewat efek bola salju dan akhirnya, mengubah warna budaya secara keseluruhan.
Selanjutnya, Matsumoto dan Juang menjelaskan serangkaian faktor yang mampu
mempengaruhi suatu budaya. Pertama adalah faktor lingkungan. Lingkungan sebagai lokasi
dipraktekkannya suatu kebudayaan mempengaruhi sifat dari budaya itu sendiri.
Wilayah yang miskin sumber daya alam penduduknya cenderung mengembangkan
semangat kerja tim dan spirit kelompok seraya berhubungan dengan kelompok lain
yang berlimpah sumber dayanya demi bertahan hidup. Kebutuhan dan hubungan ini
memicu karakteristik dan atribut psikologis tertentu yang membantu kerja tim,
semangat kelompok, dan kesalingbergantungan. Sebaliknya, di wilayah yang kaya
sumber daya alam, masyarakat cenderung tidak memilikinya seperti contoh
pertama. Kedua, faktor kepadatan penduduk.
Masyarakat dengan kepadatan populasi yang tinggi butuh perangkat keteraturan
sosial yang lebih besar dalam menjamin keberfungsiannya. Masyarakat seperti ini
lalu menciptakan pengelompokan dan hirarki masyarakat yang lebih rumit timbang
masyarakat dengan kepadatan yang lebih rendah. Ketiga,
faktor teknologi. Teknologi semisal teknologi komunikasi (contohnya telepon
seluler dan surat elektronik), mengakibatkan interaksi personal berubah secara
cepat. Komputer memungkinkan orang bekerja secara lebih mandiri, jadi kurang
bergantung pada orang lain. Ini berakibat pada perubahan perilaku dan fungsi -
fungsi psikologis seseorang dan lebih jauhnya, perubahan pada budaya. Keempat, faktor iklim. Masyarakat yang tingga di dengan
khatulistiwa, iklim panas, area tropis, akan mengembangkan gaya hidup yang
sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di zona artik atau zona
bertemperatur rendah. Perbedaan iklim membentuk pakaian berbeda, makanan yang
dimakan, jenis penyakit, dan alat transportasi.
Dari definisi budaya Stolley di atas, dapat kita peroleh konsep
- konsep seperti gagasan, keyakinan, perilaku, produk, sementara dari pendapat
Kroeber and Kluckhorn konsep-konsep seperti pola perilaku yang diwariskan
antargenerasi secara simbolik. Selain itu, masih menurut Kroeber and Kluckhorn,
budaya juga dapat memunculkan tindakan dan mengkondisikan tindakan - tindakan
yang akan diambil di masa kemudian. Budaya membentuk cara bagaimana orang melihat dunia. Ia
berpengaruh atas bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung tinggi,
berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan,
hukum yang dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa
yang kita pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk. Suatu ciri dalam ekologi budaya
adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama, sehubungan dengan
cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan kedua-sebagai
konsekuensi adaptasi sistemik itu-perhatian terhadap cara institusi-institusi
dalam sesuatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan diri. Ekolog-budaya
menyatakan bahwa dipentingkannya proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita
melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi
budaya. Umumnya ekologi kultural cenderung menekankan teknologi dan ilmu
ekonomi dalam analisis mereka terhadap adaptasi budaya, karena dalam segi-segi
budaya itulah kelihatan jelas perbedaan di antara budaya-budaya di samping
perbedaan dari waktu ke waktu di dalam suatu budaya hal ini jelas terlihat pada
ulasan factor-faktor yang memengaruhi perubahan budaya.
Ekologi budaya tidak sekedar membicarakan interaksi
bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu, melainkan membahas cara
manusia (berkat budaya sebagai sarananya) memanipulasi dan membentuk ekologi
sistem itu sendiri. Beberapa contoh sebuah msayarakat dikatakan berbudaya
adalah masyarakat yang selalu berpegang pada nilai-nilai kebaikan dalam
bermasyarakat, norma atau adat istiadat sebuah kelompok masyarakat, atau hukum
suatu Negara sekalipun jika tidak di langgar sera dipatuhi maka tentulah mereka
sudah termasuk kedalam golongan manusia yang berbudaya tadi sebab akan secara
sistemik peri kehidupan mereka tertuang dala sebuah kondisi yang ajek, toleran,
tenggang rasa dan semangat untuk melakukan segala sesuatu untuk kepentingan
umum secara bersama sama.
Ada dua konsep setidaknya yang saya uatarakan untuk
memberikan sedikit gambaran nantinya pada kasus kasus manusia yang berbudaya dan tidak berbudaya, yang
pertama Konsep Lingkungan. Kata lingkungan umumnya disama-artikan dengan
ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami: cuaca, flora dan
fauna, tanah, pola hujan, dan bahkan ada-tidaknya mineral di bawah tanah. Salah
satu kaidah dasar ekologi-budaya adalah pembedaan antara
lingkungan-sebagaimana-adanya dengan lingkungan efektif, yakni lingkungan
sebagimana dikonseptualisasikan, dimanfaatkan dan dimodifikasi oleh manusia. Kedua
Konsep Adaptasi. Adaptasi merupakan proses yang menghubungkan sistem
budaya dengan lingkungannya. Budaya dan lingkungan berinteraksi dalam sesuatu
sistem tunggal tidaklah berarti bahwa pengaruh kausal dari budaya ke lingkungan
niscaya sama besar dengan pengaruh lingkungan terhadap budaya. Dengan kemajuan
teknologi, maka faktor dinamik dalam kepaduan budaya dan lingkungan makin lama
makin didominasi oleh budaya dan bukannya oleh lingkungan sebagai lingkungan
itu sendiri. Konsep adaptasi menurut para antropolog adalah bahwa suatu budaya
yang sedang bekerja, dan mengganggap bahwa warga budaya itu telah melakukan
semacam adaptasi terhadap lingkungannya secara berhasil baik. Seandainya tidak
demikian, budaya itu niscaya sudah lenyap, dan kalaupun ada peninggalannya itu
hanya akan berupa kenangan arkeologis tentang kegagalan budaya itu beradaptasi.
Artinya kegagalannya untuk lestari sebagai sebentuk budaya yang hidup. Dua
budaya dalam lingkungan yang sama, salah satunya mampu melebarkan sayapnya
dengan merugikan budaya lainnya. Hal ini berarti kelestarian budaya yang
pertama mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya dibanding dengan
adaptasi budaya yang digusurnya.
Adanya perubahan budaya dipengaruhi oleh sifat budaya yang
dinamis, seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara (1994: 74-75) bahwa
budaya itu akan mengalami perubahan, ada waktunya lahir, tumbuh, maju,
berkembang, berbuah, menjadi tua dan mati, seperti hidup manusia. Para ahli
antropolog mengemukakan sebuah model bahwa kebudayaan itu seperti makhluk
hidup. Hal ini terkait dengan teori Evolusi Kebudayaan, bahwa suatu budaya akan
mengalami perubahan sesuai dengan jamannya. Kebudayaan akan mengalami seleksi
alam, mana yang kuat akan terus hidup dan sebaliknya, yang lemah akan tertutupi
oleh suatu budaya yang kuat tersebut. Alam sekelilingnya, adalah
kekuatan-kekuatan yang menuntut sebuah kebudayaan untuk beradaptasi. Jika suatu
kebudayaan tidak mampu mempertahankan keberadaannya, maka kebudayaan tersebut
akan punah, tertutup oleh kebudayaan lain maupun alam lingkungannya. Manusia
dianugrahi akal, budi dan pikiran guna menyelaraskan kehidupannya dengan alam
sekitar. Alam pikiran tersebut memunculkan suatu ideologi, di mana pada
dasarnya pikiran manusia bersifat subjektif. Ideologi inilah akhirnya juga akan
mempengaruhi subjektivitas seseorang dalam pengambilan data maupun
pelaporannya. Jadi, antara kawasan ideologi, subjektivitas, intuitif mempunyai
andil besar munculnya bias bagi seseorang yang mencermati perubahan-perubahan
sebuah kebudayaan.
Tugas besar seorang antropolog adalah mendeskripsikan suatu
budaya yang belum pernah terjamah oleh penelitian, dan dalam pandangan
tradisional mesti daerah dan orang-orang primitif merupakan sasaran utamanya.
Oleh karena adanya berbagai kesulitan yang ditemui dalam penelitian lapangan,
maka tak banyak antropolog yang mau meninggalkan kenyamanan untuk menjemput
ketidaknyamanan selama melaksanakan kerja lapangan pada tempo tertentu.
Pandangan inilah yang menghambat perkembangan antropologi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa masyarakat primitiflah yang menyumbang data terbesar untuk
perkembangan ilmu antropologi, meskipun keberadaan orang-orang primitif
tersebut pada saatnya tidak dapat ditemukan lagi
Berikut adalah contoh dari adanya sikap suatu masyarakat
baik individu maupun kelompok yang sering melakukan sesuatu penyimpangan
terhadap aturan, norma adat istiadat serta hokum suatu Negara sebagai tindakan
yang harus di antisipasi secara bersama-sama. Contoh banyak kasus yang
belakangan ini secara terang terangan pada suatu kelompok masyarakat membuat
suatu agama baru misalnya padahal agama bentukan mereka ini dikatakan jauh
menyimpang dari ajaran suatu agama yang di tirunya, atau maraknya persoalan
mengenai perkawinan sejenis atau bahkan banyaknya tingkat kriminalitas dengan
kasus tindakan asusila, seorang bapak menggauli anak kandungnya sendiri sampai
melahirkan atau seorang kakek menggauli cucunya sendiri dan satu lagi yang
perlu saya garis bawahi adalah mengenai maraknya kasus korupsi dll.ΔΎ
Komentar